Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) kini
jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di
berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate
governance seperti fairness, transparency, accountability, dan
responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati”
dunia bisnis.
Di
tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan
tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR.
Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau
bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab
sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun,
UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang
harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar.
Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan
CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan
pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.
Akibatnya,
standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi
kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR
juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak
bias.
Banyak
perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal
setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang
menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar
“menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang
diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan
seringkali tumpang tindih.
Walhasil,
alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu
(menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat
masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan
masyarakat).
Sejarah singkat
Pengertian
CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen
tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial,
tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik,
melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan
dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving,
corporate philanthropy, corporate community relations, dan community
development.
Ditinjau
dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau
pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity,
corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community
relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih
bernuansa pemberdayaan.
Dalam
konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan
semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks:
The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John
Elkington.
Mengembangkan
tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth,
environmental protection, dan social equity yang digagas the World
Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report
(1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet,
dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan
ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di
Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an.
Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate
social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak
menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang
merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan
terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui
konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003
Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam
mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai
perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari
alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun
buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya
di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain
itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para
pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat
mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat
sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa,
dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders
relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core
bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).
Sebagai
contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan
lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.
Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen
seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Bias-bias CSR
Berdasarkan
pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan
mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak
sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama,
kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen
genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan
ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan
dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi
menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik
sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan
dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah
umur.
Kedua,
generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan
berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain.
Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan
cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi)
terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga,
directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan
hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata.
Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement
yang benar.
Keempat,
lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan
perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment
dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan
tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT),
misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service
belaka.
Kelima,
kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan.
Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan,
lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya
bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna
pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan
“menanam jati”.
CSR yang baik
CSR
yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance,
yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility,
secara harmonis. Ada
perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004).
Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih
memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai
contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang
saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan
yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam
bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus
dipertanggung jawabkan.
Sementara
itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven
karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan
beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan
masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini,
perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value
added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula
harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya
itu (Supomo, 2004).
Namun
demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara
sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good
principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle)
(Nugroho, 2006).
Perusahaan
yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan
CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan
massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan
tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku
konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar
nonmaleficience.***